Rabu, 23 Juni 2010

Konsumen dan Hukum yang Mengaturnya


Banyak sekali orang-orang yang memanfaatkan merek-merek terkenal untuk keuntungan. Terlebih pada saat krisis Global yang melanda dunia. Seperti yang kita ketahui, Negara-negara di Eropa sedang dilanda krisis utang yang menyebabkan banyak orang menarik saham mereka dari Eropa. Hal ini juga menyebabkan mata uang Euro menjadi turun nilainya. Hal ini dapat dihubungkan dengan produk-produk bermerek yang disiasati oleh produsen dan diganti yang asli dengan yang bajakan yang hampir mirip dengan yang aslinya.


Produk-produk bermerek dengan kualitas yang tinggi sekarang dapat ditemukan di mana saja terutama di Jakarta dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat luas. Bahkan, masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah dapat membeli produk-produk yang seharusnya hanya dapat dimiliki oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Sebagai contoh, Louis Vuitton merupakan merek yang dikenal oleh hampir semua orang, biasa kisaran produknya antara Rp 1.000.000 – 50.000.000 dapat dibeli dengan harga Rp50.000 – 1.000.000. atau barang secondhand yang hampir mirip dengan asli. Tentu saja hal ini membuat konsumen yang membeli barang yang asli menjadi kesal dan merasa dirugikan dari produk yang mereka beli.






Dilihat dari segi ekonomi, tentu saja produk bermerek terkenal dengan kualitas tinggi mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi produsen dikarenakan prestige yang sudah melekat pada kaum wanita. Fashion merupakan salah satu penentu utama dari citra produk bermerek tersebut. Akan tetapi, hal ini membuat konsumen yang setia dengan prosuk asli dari merek tersebut merasa dirugikan. Hal ini disebabkan konsumen hanya sebagai pemakai dan tidak mengetahui hal apapun dari proses produksi hingga distribusi dari produk tersebut. Dari masalah tersebut, konsumen dapat mengeluhkan hal tersebut kepada produsen. Akan tetapi, hingga saat ini, masyarakat cenderung membeli produk bajakan atau secondhand dibandingkan dengan membeli produk aslinya. Dan sampai saat ini, tidak ada pemecahan yang benar-benar dapat menyelesaikan masalah tersebut.


Menurut saya, hal tersebut tidak dapat dihindari lagi khususnya di Indonesia, dimana pembajakan telah terjadi dimana-mana. Dan tidak ada hukum yang benar-benar dapat menyelesaikan hal tersebut. Seperti yang kita ketahui sebelumnya, principal merupakan bagian tertinggi dari hubungan produsen dan konsumen. Akan tetapi, produk yang berasal dari principal sebagai produsen tertinggi tidak langsung sampai kepada konsumen. Dari kasus di atas, dapat dilihat bahwa kebanyakan produk melalui perantara yaitu intermediate customer yang dapat dikatakan ingin menambah keuntungan mereka dengan cara menjual barang-barang secondhand dari merek terkenal dan terkadang dicampur dengan yang aslinya untuk mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Karena end customer (konsumen akhir) hanya merupakan pemakai dari produk tersebut, menyebabkan konsumen terkadang merasa dirugikan.


Oleh karena itu, walaupun sudah menyampaikan keluhan terhadap pihak produsen, tetap tidak dapat menyelesaikan masalah mereka dan mereka terpaksa untuk menerima kenyataan bahwa produk yang mereka beli tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan, walaupun terlihat hampir sama persis dengan yang asli. Oleh karena itu sebaiknya konsumen tersebut dapat membeli sendiri prosuk yang mereka inginkan langsung dari produsen produk tersebut dan harus ada badan hukum yang menangani masalah tersebut. Konsumen dapat menggunakan hak-haknya seperti yang dicantumkan dalam UU Perlindungan konsumen dalam hubungannya dengan masalah tersebut.


Disusun oleh : Stefen (915070104)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar